foto sekadar hiasan
Sahabat Muslimah, bagaimanakah hukum menyentuh dan mencium organ kelamin
suami apa boleh menurut Islam ketika melakukan hubungan suami istri?
Sahabat
Muslimah, banyak orang yang khawatir bahwa beberapa hal yang mereka
lakukan saat melakukan hubungan suami istri dengan pasangan adalah hal
yang sebenarnya tidak diperkenankan oleh agama. Beberapa hal yang
seringkali ditanyakan adalah apakah boleh bagi wanita untuk memegang dan
juga melakukan oral pada suaminya?
BENARKAH DILARANG MELIHAT KEMALUAN ISTRI/SUAMI?
Saya kutip jawabannya dari rumaysho.com.
Memang, dalam sebagian ajaran fikih yang tersebar di negeri kita,
disebutkan bahwa boleh memandang seluruh tubuh istri kecuali pada
kemaluan. Jadi ketika jima’ (ML) tidak boleh melihat aurat atau kemaluan
istri.
Namun yang benar;
Suami Istri Boleh Saling Memandang Aurat Satu Sama Lain.
Dalilnya (dasarnya), dari ‘Aisyah, ia berkata:
كُنْتُ
أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ
دَعْ لِي ، دَعْ لِي ، قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana antara
aku dan beliau. Kemudian beliau bergegas-gegas denganku mengambil air,
sampai aku mengatakan: tinggalkan air untukku, tinggalkan air untukku.”
Ia berkata, “Mereka berdua kala itu dalam keadaan junub.”
(HR. Bukhari no. 261 dan Muslim no. 321). Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Ad Daudi berdalil dengan dalil ini akan bolehnya laki-laki
memandang aurat istrinya dan sebaliknya.” (Fathul Bari, 1: 364)
Juga dikuatkan lagi dengan hadits,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2769, hasan)
Ibnu Hajar berkata, “Yang dipahami dari hadits ‘kecuali dari
istrimu’ menunjukkan bahwa istrinya boleh-boleh saja memandang aurat
suami. Hal ini diqiyaskan pula, boleh saja suami memandang aurat istri.”
(Fathul Bari, 1: 386). Dan yang berpandangan bolehnya memandang aurat
satu sama lain antara suami istri adalah pendapat jumhur ulama
(mayoritas). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 32: 89)
Ibnu Hazm
Azh Zhohiri juga berkata, “Halal bagi suami untuk memandang kemaluan
istri dan hamba sahaya miliknya yang boleh ia setubuhi. Demikian pula
istri dan hamba sahayanya boleh memandang kemaluannya. Hal ini tidak
dianggap makruh sama sekali. Di antara dalilnya adalah hadits yang
masyhur dari jalan ‘Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah yang kesemuanya
adalah ummahatul mukminin (istri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-). Di antara mereka pernah mandi junub bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana. Yang aneh, mereka
menghalalkan menjima’ istri di kemaluan, namun melarang dari memandang
kemaluan (padahal memandang masih lebih mending dari menjima’, pen).
Cukup sebagai dalil akan bolehnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30)
“Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al Ma’arij: 29-30).
Perintah Allah
untuk menjaga kemaluan kecuali pada istri dan hamba sahaya yang
dimiliki menunjukkan bahwa boleh saja melihat, menyentuh dan berkholwat
dengan mereka.
Ada Hadits yang Melarang Memandang Kemaluan Pasangan
Kami
tidak mengetahui hal ini kecuali karena berpegang pada riwayat yang
bermasalah dari seorang wanita yang majhul (yang tidak diketahui) dan ia
mengatakan dari salah seorang ummul mukminin (istri Rasul), ia berkata,
“Aku tidaklah pernah melihat kemaluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sama sekali.” (Al Muhalla, 10: 33)
Hadits yang disebutkan
di atas adalah riwayat Ibnu Majah dalam kitab sunannya (662) dari Musa
bin ‘Abdillah, dari bekas budak ‘Aisyah, dari ‘Aisyah bahwa beliau
berkata,
مَا نَظَرْتُ أَوْ مَا رَأَيْتُ فَرْجَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ
“Aku tidak pernah memandang atau melihat kemaluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali. ”
Hadits
ini adalah hadits dho’if yang tidak bisa dijadikan hujjah karena perawi
dari ‘Aisyah tidak diketahui siapa. Al Hafizh Ibnu Rajab dalam Fathul
Bari (1: 336) mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini adalah perawi yang
tidak dikenal.
BOLEHKAH MENCIUM KEMALUAN ISTRI/SUAMI SENDIRI?
Diperbolehkan bagi masing-masing suami-istri untuk menikmati keindahan tubuh pasangannya. Allah berfirman,
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن
“Para istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:187)
Allah juga berfirman,
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
“Para
istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang
kalian, dengan cara yang kalian sukai.” (Q.S. Al-Baqarah:223)
Hanya saja, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
Menjauhi
cara yang dilarang dalam syariat, di antaranya: (1) Menggauli istri di
duburnya; (2) Melakukan hubungan badan ketika sang istri sedang “datang
bulan”. Kedua perbuatan ini termasuk dosa besar.
Hendaknya dalam koridor menjaga adab-adab Islam dan tidak menyimpang dari fitrah yang lurus.
Tentang
mencium atau menjilati kemaluan pasangan, tidak terdapat dalil tegas
yang melarangnya. Hanya saja, perbuatan ini bertentangan dengan fitrah
yang lurus dan adab Islam. Betapa tidak, kemaluan, yang menjadi tempat
keluarnya benda najis, bagaimana mungkin akan ditempelkan di lidah, yang
merupakan bagian anggota badan yang mulia, yang digunakan untuk
berzikir dan membaca Alquran?
Oleh karena itu, selayaknya tindakan tersebut ditinggalkan, dalam rangka:
Menjaga kelurusan fitrah yang suci dan adab yang mulia.
Menjaga agar tidak ada cairan najis yang masuk ke tubuh kita, seperti: madzi.
Ini semua merupakan bagian dari usaha menjaga kebersihan dan kesucian jiwa. Allah berfirman,
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
“Sesungguhnya, Allah mencintai orang yang bertobat dan mencintai orang yang menjaga kebersihan.” (Q.S. Al-Baqarah:222)
Maksud
ayat adalah Allah mencintai orang menjaga diri dari segala sesuatu yang
kotor dan mengganggu. Termasuk sesuatu yang kotor adalah benda najis,
seperti: madzi. Sementara, kita sadar bahwa, dalam kondisi semacam ini,
tidak mungkin jika madzi tidak keluar. Padahal, benda-benda semacam ini
tidak selayaknya disentuhkan ke bibir atau ke lidah. Allahu a’lam.
(Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr.
Abdullah Al-Faqih).
.png)
0 Comments